Sertifikat halal Paytren: DSN MUI melawan fatwanya sendiri.

Secara mengejutkan DSN MUI memberikan sertifikat halal paytren. Sertifikat halal atau syariah itu dikeluarkan untuk sistem penjualan langsung berjenjang (atau biasa dikenal dengan istilah multi level marketing) dengan produk ‘Layanan pembayaran multiguna’. Mengapa mengejutkan? karena telaah yang mendalam tentang bisnis paytren, apa yang dijual (bukan hanya layanan pembayaran multiguna), bagaimana mereka memasarkan jauh dari kesesuaian fatwa Dewan Syariah Nasional MUI sebelumnya.

Berikut adalah Ketentuan hukum DSN MUI tentang penjualan langsung berjenjang syariah yang tertuang dalam  FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL No : 75/DSN MUI/VII/2009

  1. Ada obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;
  2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
  3. Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar, dzulm,
    maksiat;
  4. Tidak ada harga/biaya yang berlebihan (excessive markup), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;
  5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan  volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;
  6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
  7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
  8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
  9. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan
    anggota berikutnya;
  10. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lainlain;
  11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;
  12. Tidak melakukan kegiatan money game

Antara ketentuan hukum DSN MUI dengan sertifikat halal paytren

Mari kita bahas beberapa ketentuan hukum DSN MUI tentang penjualan langsung berjenjang syariah yang sebetulnya sulit bagi DSN MUI untuk mengeluarkan sertifikat halal paytren

Ketentuan hukum nomor 3: Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar, dzulm, maksiat;

Apakah transaksi dalam perdagangan paytren mengandung unsur-unsur di atas? Tentu perlu kajian dari orang yang berkompeten, dalam hal ini adalah Ulama dari pihak luar selain paytren. Saya mengambil beberapa pendapat Ulama yang dari latar pendidikannya memang tampak mempunyai kompetensi yang cukup untuk menilai masalah ini.

  • Ustadz Ammi Nur Baits, Lulusan S-1, Jurusan Fikih dan Ushul Fikih, Madinah International University disamping juga lulusan S1 Teknik tenaga nuklir Universitas Gajah Mada. Paparan ustadz ini secara panjang lebar pada kesimpulannya mengatakan bahwa paytren adalah gharar. Paparan tersebut dapat dibaca dalam 4 tulisan bersambung:
  • Ustadz Erwandi Tarmizi, S2 jurusan Ushul Fiqh, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud, S3 jurusan Ushul fiqh, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud. Secara singkat dan tegas Ustadz Erwandi Tarmizi mengatakan bahwa paytren, selain riba adalah haram. Orang membeli produk yang dimahalkan bukan karena produknya, tetapi karena janji pendapatan yang besar yang belum tentu menjadi kenyataan. Penjelasan Ustadz Erwandi tentang paytren.

Beberapa ulama yang lain seperti Abu Salamah, Abdul Shomad juga mempunyai pendapat yang senada dengan kedua ulama diatas. Ada juga kajian dari

Ketentuan hukum nomor 4. Tidak ada harga/biaya yang berlebihan (excessive markup), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh

Harga lisensi terbatas paytren: Rp. 25.000. Diluaran, aplikasi sejenis seperti Bebas Bayar, Buka Lapak, Fast Track: 0 rupiah. Dengan harga 0 rupiah pengguna bisa melakukan pembayaran online dan juga menjual jasa pembayaran online seperti paytren. Dengan harga Rp. 25.000 saja pada paytren sudah tampak ada harga berlebihan. Apalagi dianggap paket lisensi penuh adalah produk paytren juga dengan harga Rp. 350.000. Tentu sangat berlebihan.

Harga produk itu memang relatif. Mahal bisa saja menjadi terasa murah dan sebaliknya. Tergantung dari persepsi pembeli tentang produk, juga tergantung dari biaya dasar pembuatan produk atau jasa yang kadang sulit untuk diketahui. Tetapi bila ada produk pembanding, kita bisa ketahui apakah produk itu lebih mahal atau lebih murah dari seharusnya. Dan faktanya adalah banyak produk sejenis yang berharga 0 rupiah.

Ketentuan hukum nomor 5: Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS.

Lihat frase terakhir: harus menjadi pendapatan utama mitra usaha. Apakah pendapatan utama mitra usaha paytren dari hasil penjualan aplikasi? Atau dari komis rekrutmen mitra penjual?

Bila kita asumsikan bahwa pembeli paket lisensi penuh berarti membeli kemitraan, yang membayar 325.000 rupiah tambahan dari paken lisensi terbatas untuk menjadi mitra penjual, maka sangat patut diduga pendapatan mitra penjual atau anggota kebanyakan adalah dari rekrutmen mitra penjual baru, bukan dari penjualan aplikasi terbatas seharga 25.000 rupiah. Ambil saja secara acak promosi-promosi para anggota paytren. Semuanya fokus pada penawaran kemitraan seharga 25.000 plus 325.000 rupiah. Karena dengan keberhasilan merekrut mitra itulah, anggota mendapat komisi yang cukup besar: 75.000 rupiah, diluar bonus pasangan.

Bila dari pola promosi belum cukup,  tentu harus dilakukan audit keuangan Paytren dan seharusnya DSN MUI sudah melakukan hal tersebut. Dari audit keuangan akan diperoleh bukti faktual, berapa persen pendapatan dari mitra paytren yang berasal dari penjualan aplikasi seharaga 25.000 rupiah, berapa % pendapatan yang berasal dari komisi perekrutan mitra baru. Sangat sederhana.

Bagaimana kalau Paytren berdalih bahwa aplikasi seharga 350.000 itu juga adalah produk paytren, sehingga kelebihan harga sebesar Rp. 325.000 tidak bisa dianggap sebagai biaya pendapftaran menjadi mitra penual? Bila demikian, maka bisa saja komisi Rp. 75.000 rupiah dianggap sebagai komisi penjualan, bukan komisi perekrutan. Tapi dalih ini mudah dipatahkan:

  • Kalau lisensi penuh itu dianggap produk paytren yang dengan kelas yang berbeda, tentu ada fitur yang berbeda pula dari lisensi terbatas. Apa bedanya? kalau bedanya hanya bahwa lisensi penuh bisa menjual aplikasi ke orang lain, itu cuma manipulasi kata-kata untuk menutupi kemitraan.
  • Sudah umum diketahui bahwa orang bisa membeli puluhan paket lisensi penuh sekaligus. Bila paket lisensi penuh itu dianggap sebagai salah satu produk paytren, dimana logikanya orang membeli sampai puluhan aplikasi yang sama? Dalam penjualan aplikasi, memang ada batas penggunaan alat dimana aplikasi itu di-install. Misalnya, kita beli paket microsoft windows hanya untuk 1 komputer. Punya 2 komputer, kita harus beli 2 paket microsoft windows. Dalam hal paytren, apakah mungkin seseorang membeli puluhan aplikasi paytren lisensi penuh karena yang bersangkutan mempunyai puluhan handphone? Sulit diterima akal sehat.
  • Paytren tetap sulit memenuhi ketentuan tentang tidak adanya harga berlebihan (ketentuan hukum nomor 4).

Ketentuan hukum nomor 7: Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa

Dalam sistem pemasaran di Paytren, terdapat apa yang dikenal sebagai bonus pasangan, bila terjadi penambahan 2 mitra sekaligus di jaringan kiri dan kanan dari seorang mitra. Tetapi apakah itu berarti pasif atau aktif sulit dinilai tanpa pengamatan langsung.

Ketentuan hukum nomor 12: Tidak melakukan kegiatan money game.

Ketentuan ini sebetulnya sebagian sudah dimuat dalam ketentuan hukum nomor 4 dan 5. Sebab ciri money game dan skema piramida adalah adanya harga yang berlebihan dan pendapatan mitra yang lebih banyak dari perekrutan mitra bara. Tetapi ditulisnya ketentuan ‘tidak melakukan kegiatan money game’ tentunya sebagai pengaman dari DSN karena money game saat ini menggunakan berbagai skema yang kadang membingungkan untuk menyamarkan praktek sebenarnya.

Money game, menurut definisi yang tercantum dalam fatwa Dewan Syarian Nasional No : 75/DSN MUI/VII/2009, Bagian ketentuan umum nomor 9:

Money Game adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/pendaftaran Mitra Usaha yang baru/bergabung kemudian dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya sebagai kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan.

Istilah money game yang digunakan olah banyak kalangan di Indonesia tak lain dan tak bukan adalah skema piramida. Konteksnya sama, seputar penjualan berjenjang langsung dan praktek yang dimaksud juga sama: pemberian komisi dari perekrutan mitra usaha, atau agen penjualan, atau distributor.

Apakah paytren money game?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita uraikan 2 kriteria money game yang disebut oleh DSN MUI. Salah satu dari kedua kriteria ini terpenuhi, maka paytren adalah money game, karena kedua kriteria ini dihubungkan dengan kata ‘atau’.

Kriteria 1: Paytren money game bila memberikan komisi dan bonus dari hasil pendaftaran mitra usaha yang baru

Kriteria 2: Paytren money game bila produknya hanya sebagai kamuflase (dari penghimpunan dana) atau tidak mempunyai mutu yang dapat dipertanggungjawabkan.

Asumsi 1: Bila harga paket lisensi penuh (Rp. 350.000) dianggap sebagai paket lisensi terbatas ditambah lisensi sebagai mitra penjual, maka jelas ada komisi dari hasil pendaftaran mitra baru. Memenuhi kriteria 1.

Asumsi 2: Bila harga paket lisensi penuh (Rp. 350.000) dianggap salah satu produk paytren, tidak ada biaya menjadi mitra penjual didalamnya, paytren memang tidak memenuhi kriteria nomor 1, tetapi kita harus melihat apakah paytren memenuhi kriteria 2 sebagai money game?

Kamuflase berarti penyamaran agar orang melihat suatu fakta yang berbeda dari fakta sebenarnya. Dalam konteks money game, tentu maksud dari kententuan diatas adalah: penyaran agar orang melihat money game sebagai jual beli.

Produk yang dijual belikan sebagai penyamaran dari transfer dana ke sesama anggota memang banyak digunakan dalam praktek money game. Untuk membuktikan apakah ada kamuflase, tentunya harus dilihat apakah benar-benar terjadi praktek jual beli yang sebenarnya, dalam artian pembeli membeli produk memang untuk mendapatkan manfaat dari produk, atau ada tujuan lain. Maka pertanyaannya menjadi, apakah pembeli aplikasi paytren membeli karena ingin mendapatkan manfaat dari aplikasi tersebut yang adalah mempermudah pembayaran online, atau karena tujuan lain seperti ingin memperoleh pendapatan dengan merekrut orang lain? Bila karena tujuan untuk memperolah pendapatan dengan merekrut orang lain, itu bisa disebut kamuflase. Menyamarkan praktek penghimpunan dana dengan cara membeli dan menjual produk.

Keanehan sebelum terbitnya sertifikat halal paytren

Pola bisnis paytren, dari marketing plan terakhir yang bisa dilihat, tak ada bedanya dengan Wandermind yang pemiliknya telah dihukum, atau dengan DBS (duta business school) sekitar 5 tahun yang lalu, money game yang telah bangkrut dengan tenang.

Apakah DSN MUI mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang Paytren? Ataukah DSN MUI lupa dengan fatwanya sendiri? ataukan memang sertifikasi produk bisa mengabaikan aspek-aspek lain seperti untuk apa produk itu dimaksudkan? Bagaimana bila suatu produk telah jelas digunakan untuk keperluan yang melanggar fatwa DSN MUI sendiri?

Perlu dicatat bahwa beberapa saat sebelum keluarnya sertifikat halal dari DSN MUI, situs resmi paytren menghilangkan skema marketing plan yang sangat kental mencirikan money game. Beberapa pihak mengatakan sertifikat diperoleh paytren karena adanya perubahan marketing plan tersebut. Pun bila demikian, apakah pantas DSN memberikan label syariah kepada bisnis yang baru berubah? Yang belum terbukti perubahannya diterapkan secara konsisten?

Tambahan (9 Okterber 2017).
Dalam sertifikat syariah yang dikeluarkan MUI, disebutkan bahwa produk paytren adalah layanan pembayaran multiguna. Layanan artinya jasa, pekerjaan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Tapi apa yang sebenarnya dijual Paytren? Tak lain adalah aplikasi, software dan lisensi kemitraan. Harga pulsa mereka sama sekali tidak bersaing untuk dapat menjaring orang melakukan pembayaran melalui mitra paytren. Yang terjadi, member paytren hanya menjual aplikasi dan lisensi. Mengapa MUI memberikan sertifikat halal untuk produk suatu perusahaan yang tidak banyak dijual, sementara produk lain dari perusahaan tersebut, yang justru jauh lebih banyak dijual menjalankan praktek yang jelas melanggar fatwa DSN MUI?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top